Wednesday, January 29, 2020

Percayalah, aku rindu


baru beberapa hari, rasanya aku ingin lari
menemuimu dan tak kembali

pertemuan singkat yang akhirnya mempersatukan
dua insan yang ternyata saling membutuhkan

tak pernah terbayang menemukanmu
yang tak tergapai anganku

pertemuan sederhana
percakapan penuh makna
perjalanan kaya rasa
kenangan yang tak ingin ku lupa

aku selalu tau kota itu penuh rindu
aku tak pernah tau kota itu akan semakin ku rindu dengan kehadiranmu

masih ku ingat sakitnya bertemu fakta
masih ku ingat betapa menakutkan menaruh rasa

baru kali ini aku begitu berani
menyerahkan diri sepenuhnya
saat semua baru dimulai

salahkah? 
aku tak tau jawabanya

karena aku percaya
rasanya semua akan baik saja

katamu, kita adalah satu
aku percaya itu




Pamulang, 29 Januari 2020
dari si Kentang untuk si Ubi

*) ditulis saat terpisah 435 km jauhnya

Wednesday, March 14, 2018

Konstruksi Sosial Adalah Racun


Sudah sangat lama sejak tulisan terakhir di blog saya ini. Berawal dari sekedar curhatan dan kisah pengalaman sederhana, dalam blog ini saya akan mulai membagi opini kepada khalayak. Berharap bisa memberi manfaat bagi pembaca.

Kali ini saya ingin memberi opini. Kemungkinan besar karya ini akan memiliki sumber ilmiah yang sedikit namun tulisan ini bersumber dari keresahan saya setelah beridskusi dengan kawan dekat saya di kampus.

***

Saya hidup di negara dimana patriarki masih membudaya, Indonesia. Kontruksi sosial yang mendiskreditkan perempuan masih menjadi pemahaman umum. Konstruksi dimana laki-laki harusnya memiliki kapabilitas diatas wanita, hal yang tabu bagi laki-laki dalam keluarga mengerjakan perkerjaan perempuan. Terutama dalam kehidupan suami-istri. laki-laki memiliki kuasa penuh atas pilihan dan kehidupan istri. Saya tidak akan mengomentari konteks keagamaan karena akan membuat tulisan ini terlalu beresiko. Saya akan berbicara dalam konteks bagaimana konstruksi sosial masyarakat ini membuat hidup menjadi seorang wanita tidaklah mudah.

Pada dasarnya manusia baik laki-laki dan perempuan adalah sama. Keadaan fisik yang membedakan keduanya. Keduanya harus memiliki kesempatan yang sama, hak yang sama, karena keduanya tetaplah manusia. Apa yang membuat kesetaraan ini terhambat? Jawabannya adalah konstruksi sosial masyarakat.

Dalam hubungan suami-istri misalkan. Laki-laki dinilai seharusnya memiliki kapabilitas yang lebih dari perempuan. Sebuah hal yang tabu apabila seorang istri memiliki jabatan dan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan suami. Atau memiliki pendapatan yang lebih banyak dari sang suami. Dalam masyarakat laki-laki yang memiliki kapabilitas dibawah perempuan -dalam hal ini suani dan istri- kehilangan harga dirinya sebagai laki-laki. 

Pertanyaan yang akan muncul, Apa yang salah dengan konstruksi sosial diatas?

Jawabannya adalah ketika dalam masyarakat laki-laki dituntut untuk mendominasi perempuan itu akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan hubunganan suami istri. Faktanya konstruksi sosial ini menjadi penyebab besar dari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Dengan konstruksi ini laki-laki dituntut untuk mendominasi perempuan entah dari sisi apapun. Dampaknya ketika misalkan dalam suatu rumah tangga seorang istri memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi dari suami, kemudian memiliki gaji yang lebih tinggi, akhirnya memiliki kelas sosial yang lebih tinggi. Dalam contoh ini sang suami sudah kalah dalam mendominasi di sisi pendidikan, dan pendapatan. Cara terakhir yang akan dengan mudah dilakukan oleh suami untuk mendominasi istri adalah melalui kekerasan dalam rumah tangga.

Solusi dari hal ini adalah masyarakat harus memaknai lagi arti kesetaraan. Dimana sesungguhnya manusia ini dalam posisi yang sama. Bahkan jika dikaitkan dengan kitab suci Al-Quran, didalamnya berbunyi bahwa manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah sama, yang membedakan adalah bagaimana ketaatannya kepada Tuhan dan yang berhak untuk menilai hal ini adalah Tuhan itu sendiri.

Konstruksi sosial yang lain yakni ketika marak kasus pemerkosaan, pihak yang dipertanyakan terlebih dulu justru perempuan yang menjadi korban. Apakah dia memakai pakaian yang provokatif/ mengundang hawa nafsu? Jika iya, pemerkosaan ini terjadi karena pihak perempuan. Korban yang harusnya dibela malah menjadi pihak yang disalahkan. Faktanya korban pemerkosaan didominasi dengan wanita yang tidak memakai pakaian terbuka dan provokatif. Pameran di Belgia yang memperlihatkan pakaian terakhir korban-korban pemerkosaan buktinya.

Sebaliknya, dalam tulisan Syed Farid Alatas di Malaymail Online menjelaskan faktanya pakaian yang terbuka justru bisa menyelamatkan perempuan dari menjadi korban pemerkosaan -saya tidak menyarankan untuk berpakaian terbuka-. Seorang wanita yang berpakaian provokatif memberikan pesan bahwa ia penuh dengan percaya diri dan tegas. Perempuan seperti itu bukanlah target pelaku pemerkosaan karena mereka akan mencari korban yang mereka perkirakan dapat mereka dominasi. Pemikiran ini lahir dari konstruksi sosial yang hidup dan berkembang di masyarakat saat ini.

Melihat dua contoh kasus dampak konstruksi sosial yang merusak baik bagi laki-laki maupun perempuan. Masihkah akan anda 'amini' konstruksi sosial seperti yang telah saya sebutkan di atas? Bayangkan hal seperti diatas akan akan terjadi terus menerus di masa generasi selanjutnya.

Saya harap tulisan ini dapat memberikan pencerahan. 

Wednesday, August 17, 2016

Sajadah Ego?

Sumber

Sebagai muslim kita punya kewajiban untuk mendirikan shalat. Selain mukena dan sarungada sajadah yang senantiasa menemani muslim saat mendirikan shalat. Dan sajadah ini yang ingin saya bahas.

Saat memasuki masjid, hampir semua masjid selalu memiliki karpet panjang yang digunakan sebagai alas shalat. Tapi biasanya orang membawa sajadahnya sendiri. Dan memang lebih nyaman sujud di sajadah yang kita bawa sendiri karena jelas kebersihannya. Namun ada satu yang membuat saya tidak nyaman ketika setiap orang membawa sajadahnya sendiri ke masjid. yaitu ketika sajadah menjadikan shaf tidak rapat.

Diatara orang-orang yang membawa sajadahnya sendiri tidak sedikit yang membawa sajadah besar. Lebih besar dari ukuran tubuhnya sehingga menyisakan jarak dengan jamaah di sampingnya. Sering saya perhatikan orang enggan memasuki area sajadah orang lain dan sebaliknya untuk merapatkan shaf padahal jarak yang ada bisa diisi oleh satu jama'ah lagi. Entah karena ego pribadi masing-masing yang menganggap sajadah itu daerah kekuasaannya sehingga orang lain tidak seharusnya memasuki daerahnya.

Saya pernah melakukan eksperimen kecil. Ketika shalat akan dimulai saya merapatkan shaf dan memasuki daerah sajadah orang lain yang memang berjarak cukup jauh. Ada yang menyadari kemudian merapatkan lagi dengan jamaah sebelahnya selain saya, ada pula yang merasa risih ketika ada orang lain yang ikut menggunakan sajadahnya. Kebanyakan merespon dengan risih.

Begini, dalam shalat berjamaah kerapatan shaf menjadi kesempurnaan dan itu sudah menjadi aturan dalam shalat berjamaah. Hal ini juga bisa menimbulkan rasa persaudaraan ketika bahu kita bersentuhan dengan bahu orang lain, ketika kelingking saling bersentuhan. Walaupun tidak saling mengenal, tapi kita ini bersaudara. Saudara satu iman. Toh dalam satu shaf ini adalah mahram? Kenapa harus merasa risih dengan sesama? Padahal ketika disentuh pacar atau yang bukan mahram tidak merasa risih sama sekali.
Ayo kita bangkitkan lagi rasa persaudaraan diantara muslim. Kita perbaiki lagi shaf kita ketika shalat berjamaah. Sajadah bukan pembatas. Berbagi sajadah bukan hal yang salah kok


Saya bukan Da'i
Hanya berbagi pemikiran

Salam.
Hamba Allah